Jumat, 12 Februari 2010

Etnis Muna

Etnis Muna mendiami sebuah pulau berpasir dan berbatu 'Muna', yang terbentang beberapa jauh dari pantai tenggara Sulawesi.

Etnis Muna sangat dekat dengan etnis Buton, dan seperti mereka, pernah merupakan bagian kesultanan Buton. Kesultanan ini mencakup Buton, Muna, Kabaena, dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada 1910, Muna dibawah kendali Belanda. Seemnjak itu, orang-orang di wilayah ini mengalami banyak perubahan budaya karena dominasi Bugis dan eksploitasi oleh Belanda.

Saat ini, berbagai etnis yang mendiami pulau-pulau di bagian tenggara Sulawesi bertutur bahasa yang mirip dan berbagi budaya. Mereka sangat terkait dengan Mori-Laki, yang tinggal di berbatasan dengan tanah daratan.

Dahulu, Sultan Buton mengendalikan Muna melalui hirarki penasehat dan pejabat. Pemimpin lokal, yang dipilih dari keluarga para pendahulu mereka, tinggal di ibu kota. Muna dikendalikan oleh Belanda mulai 1910 hingga 1949.

Saat ini, masyarakat Muna terbagi atas beberapa kelas: Kaoem (bangsawan kelas atas), Wakale (bangsawan kelas bawah), dan Mardeka (rakyat jelata), diikuti oleh kelas budak dan keturunan merka. Masing-masing kelas memiliki hak-hak istimewa tertentu, perhiasan, pakaian, dan lagu.

Indonesia memiliki lebih dari 8 juta petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Pemerintah menawarkan lahan gratis, perumahan, dan bantuan lainnya kepada mereka yang ingin pindah dari jawa, Bali dan Madura ke pulau-pulau yang masih terbelakang pembangunanya. Para petani di Muna umumnya memakai cara "tebang dan bakar" untuk pertanian. Mereka bercocok tanam padi, ubi jalar, tebu, sayuran dan kopi.

Pulau Muna dibagi menjadi menjadi wilayah-wilayah desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa, karena lembaga tersebut yang memegang kepemilikan atas lahan. Rumah-rumah tersebar di tanah-tanah lapang, dan biasanya dibangun diatas tumpukan tanah yang atapnya terbuat dari anyaman dedaunan dan memiliki atap yang cukup tinggi.

Bila pasangan muda-mudi Muna bertunangan, keluarga pengantin membayar kepada keluarga Si gadis. Pembayaran tambahan juga dilakukan pada saat pesta pernikahan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari pengantin. Sebelum perkawinan, Si pemuda juga diharuskan bekerja untuk jangka waktu tertentu pada calon mertuanya. Kebiasaan seperti ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi.

Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Ploigami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dipraktekan.

Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Sebelum abad ke-14, Hindu tersebar luas di nusantara, tetapi sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil.

Etnis Muna pada prakteknya merupakan Muslim Sunni, meskipun kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat.

dikutip dari Joshua Project, 1999 (diterjemahkan)


Sumber :
http://www.idrap.or.id/id/ethno_muna.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar