Jumat, 12 Februari 2010

Jalan-Jalan ke Ereke, Buton Utara


Tanggal 28 Januari kemarin, embun masih melekat di ujung daun ketika saya melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah menuju ke terminal Lapangan Temba yang merupakan terminal angkutan keluar Kota Baubau. Ikut bersama saya sebuah tas punggung berwarna hitam yang menggembung berisi beberapa lembar pakaian dan dokumen. Hari itu saya akan pergi menuju ke Kulisusu, ibukota sementara Kabupaten Buton Utara yang untuk keperluan dinas. Jaraknya 193 km dari Kota Baubau. Untuk itu saya sudah harus berada di terminal sebelum pukul 06.00 jika tidak ingin ditinggal pergi oleh angkutan.

Selain untuk keperluan dinas, perjalanan ini juga merupakan jawaban bagi rasa penasaran saya akan cerita, keadaan alam dan manusia-manusia yang mendiami daerah yang baru memekarkan diri Kabupaten Muna di Tahun 2007. Menurut sejarah, Kulisusu/Kolencusu/Kalingsusu merupakan salah satu dari empat benteng pertahanan Barata Patapalena (cadik penjaga keseimbangan perahu negara) di masa Kesultanan Buton. Barata Kulisusu bersama-sama dengan Barata Muna, Barata Tiworo dan Barata Kaledupa merupakan pintu-pintu pertama pertahanan sebelum musuh merengsek ke dalam wilayah pusat kekuasaan di Bau-Bau. Olehnya itu mereka memiliki peran yang cukup penting dalam menjaga keselamatan negara. Mereka juga diberi hak otonom untuk mengatur sendiri daerahnya termasuk memiliki tentara sendiri namun dengan batasan-batasan pengaturan yang sudah digariskan oleh pemerintahan pusat yang ada di Bau-Bau.

Tapi itu adalah cerita dimasa dahulu, di saat Kesultanan Buton belum mengintegrasikan diri ke dalam NKRI. Adapun cerita tentang Buton Utara saat ini adalah kisah tentang daerah yang tidak terurus karena dianaktirikan dalam pembangunan selama puluhan tahun. Akses ke daerah ini hanya terbuka melalui pintu-pintu laut padahal merupakan daratan yang tidak terputus dengan saudaranya di Kabupaten Buton. Jalanan beraspal mulus masih merupakan mimpi-mimpi yang belum terwujudkan selama bertahun-tahun. Aliran listrik masih menjadi kebutuhan yang sulit dipenuhi di sebagian besar daerah. Di ibukota kabupaten sendiri, listrik hanya mengalir pada pukul 18.00-06.00. Pintu komunikasi hanya terbuka melalui wartel satelit itupun dalam jumlah yang masih bisa dihitung dengan jari.

Cerita tentang Buton Utara saat ini adalah ironi sebuah kawasan yang kaya sumberdaya alam namun hampir tidak menolong kemajuan daerah. Buton Utara memiliki banyak potensi bahan tambang (aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium), hasil hutan (jati, damar, dan rotan), hasil laut serta kawasan perkebunan yang subur namun juga memiliki 33,93% penduduk yang tidak punya pendidikan dan 32,79% yang hanya berpendidikan SD/MI.Penduduk yang sarjana hanyalah 1,67%

Cerita tentang Buton Utara adalah kisah tentang perlawanan masyarakat terhadap keterbelakangan. Diawali oleh kesadaran akan ketertinggalan daerah mereka, kemudian mencari akar permasalahan, akhirnya masyarakat bahu membahu menuntut pemekaran. Berhari-hari, bermingg-minggu bahkan berbulan-bulan mereka berdemonstrasi menuntut pemekaran daerah mereka dari Kabupaten Muna. Mereka melakukan demonstrasi secara marathon, mulai dari Kulisusu, pindah ke Muna dan kemudian di lanjutkan di Ibuko Propinsi, Kendari. Bahkan konon mereka siap-siap akan ke Jakarta jika tuntutan pemekaran belum terealisasikan setelah berdemo di Kendari. Untunglah pihak Jakarta cepat merespon dengan melakukan pemekaran sebelum mereka merealisasikan rencana ke Jakarta. Semua usaha itu dilakukan dengan inisiatif dan anggaran swadaya masyarakat sendiri (termasuk dari para warga Buton Utara yang hidup di luar daerah) karena adanya keengganan pemerintah meluluskan keinginan itu.

Untuk mencapai Kulisusu dari Kota Baubau kita harus melalui perjalanan darat ke Kambowa, perbatasan Buton Utara dan Kabupaten Buton yang bisa ditempuh sampai dengan lima jam karena rusaknya jalanan. Bahkan di beberapa penggalan jalan, mobil harus berjalan merangkak karena lintasan berlumpur yang kalau tidak hati-hati ban kendaraan bisa terpeleset bahkan terjebak hanya bisa meraung-raung tak bisa bergerak maju atau mundur. Ironis memang. Karena kondisi ini terjadi di daerah yang dikenal sebagai salah satu penghasil aspal alam terbesar di Indonesia.

Sampai di Kambowa, perjalanan dilanjutkan dengan spit menuju Kulisusu selama ± 2 jam. Di Kulisusu, kenyataan akan masih tertinggalnya daerah ini sangat jelas terlihat. Di pusat kota, jalanan banyak yang berlubang, bahkan ada yang tidak beraspal sama sekali. Banyak rumah yang terlihat tua karena dindingnya yang retak-retak dan catnya yang sudah terkelupas. Listrik hanya bisa dinikmati mulai pukul 18.00 – 06.00. Itupun setiap dua hari sekali hanya bisa dinikmati mulai pukul 23.00. Pasar yang tersedia hanya satu. Itupun buka hanya sampai pukul 11.00. Untuk berkomunikasi, jangan berharap pada telepon genggam yang anda bawa karena di daerah ini tidak ada operator yang beroperasi. Alat komunikasi yang tersedia hanyalah wartel satelit itupun dalam jumlah yang masih bisa dihitung dengan jari. Jadi selama berada di Kulisusu, dunia kita adalah orang-orang di sekeliling kita. Lupakan sejenak teman-teman dan keluarga yang berada jauh.

Kemarin setelah mekar, harapan akan kemajuan itu terbit seiring dengan adanya pejabat bupati yang memiliki darah pribumi yang memungkinkan masyarakt Buton Utara untuk menata sendiri daerah mereka. Namun harapan itu pupus seiring dengan banyaknya indikasi penyimpangan dari pejabat bupati tersebut. Akhirnya mereka kembali berdemo, menuntut digantinya pejabat bupati. Dan saat kami tiba, pejabat bupati yang baru telah menjabat dan akan mengadakan ramah tamah dengan semua warga Kulisusu bertempat di rumah salah seorang saudaranya sebab rumah jabatan bupati sedang direnovasi. Untuk kesekian kalinya, Warga Buton Utara menata mimpi-mimpi baru.


Sumber :
http://musafirtimur.wordpress.com/2009/02/03/jalan-jalan-ke-buton-utara/
3 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar