Sabtu, 13 Februari 2010

Sulawesi Tenggara



Sulawesi Tenggara adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Kendari.

Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45' - 06°15' Lintang Selatan dan di antara 120°45' - 124°30' Bujur Timur dan mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km² atau 3.814.000 ha dan wilayah perairan (laut) seluas 110.000 km² atau 11.000.000 ha.


Sejarah

Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Daerah Otonom berdasar Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU No. 13 Tahun 1964. Pada awalnya terdiri atas 4 (empat) kabupaten yaitu: Kabupaten Kendari, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Buton dengan Kota Kendari sebagai ibukota provinsi. Setelah pemekaran, Sulawesi Tenggara mempunyai 10 kabupaten dan 2 kota.


Demografi

Pada tahun 1990 jumlah penduduk Sulawesi Tenggara sekitar 1.349.619 jiwa. Kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 1.776.292 jiwa dan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2005 adalah sejumlah 1.959. 414 jiwa.

Laju pertumbuhan penduduk Sulawesi Tenggara selama tahun 1990-2000 adalah 2,79% per tahun dan tahun 2004-2005 menjadi 0,02. Laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten selama kurun waktu 2004-2005 hanya kota Kendari dan Kabupaten Muna yang menunjukan pertumbuhan yang positif yaitu 0,03 % dan 0,02 % per tahun, sedangkan kabupaten yang lain menunjukkan pertumbuhan negatif.

Struktur umur penduduk Sultra pada tahun 2005, penduduk usia di bawah 15 tahun 700.433 jiwa / 35,75% dari total penduduk. Sedangkan penduduk perempuan mencapai 984.987 jiwa (20.27%) dan penduduk laki-laki mencapai 974.427 jiwa (49,73%).


Perekonomian

Beberapa komoditi unggulan Sulawesi Tenggara, antara lain:

Pertanian, meliputi kakao, mede, kelapa, cengkeh, kopi, pinang lada dan vanili
Kehutanan, meliputi kayu gelondongan dan kayu gergajian
Perikanan, meliputi perikanan darat dan perikanan laut
Peternakan, meliputi sapi, kerbau dan kambing
Pertambangan, meliputi aspal, nikel, emas, marmer, batu setengah permata, onix, batu gamping dan tanah liat


Pariwisata, meliputi:

Wisata sejarah seperti:
1. Benteng Keraton Buton, di Kota Baubau yang merupakan benteng terluas di dunia;
2. Istana Malige, di Kota Baubau dengan arsitektur khas Suku Buton dan merupakan bangunan adat yang tidak menggunkan paku;
3. Kasulana Tombi, di Kota Baubau yang merupakan bekas tiang bendera Kesultanan Buton yang umurnya lebih dari tiga abad;
4. Masjid Agung Keraton Buton (Masigi Ogena), di Kota Baubau yang merupakan masjid pertama yang berdiri di Sulawesi Tenggara;
5. Kampua, di Kota Baubau yang merupakan mata uang Kerajaan dan Kesultanan Buton;


Wisata budaya seperti:
1. Tenunan Buton dikota Baubau, Kabupaten Buton dan Kabupaten Buton Utara;
2. Tenun Ikat di Kabupaten Wakatobi,
3. Tari Lariangi dari Kabupaten Wakatobi;
4. Tari Balumpa dari Kabupaten Wakatobi;
5. Pekande-kandea, upacara adat masyarakat Buton Raya (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi);
6. Pengrajin Besi di Tomia, Kabupaten Wakatobi,
7. Upacara Adat Posuo (Masyarakat Buton Raya);
8. Upacara Adat Kabuenga, dari Kabupaten Wakatobi;
9. Upacara Adat Karia, dari Wangi-wangi di Kabupaten Wakatobi,
10.Upacara Adat Mataa, dari Kabupaten Buton,
11.Upacara Adat Tururangiana Andala, dari Pulau Makassar di Kota Baubau,
12.Layang-layang tradisional Khagati dari Kabupaten Muna;
13.Tari Potong Pisang dari Kabaena di Kabupaten Bombana;
14.Aduan Kuda dari Kabupaten Muna;
15 Upacara Adat Religi Goraana Oputa oleh masyarakat Buton Raya;
16.Upacara Adat Religi Qunua oleh masyarakat Buton Raya;
17.Gambus & Dole-dole, Alat musik khas masyarakat Buton Raya;
18.Atraksi Perahu Naga di Kota Baubau;


Wisata Alam seperti:
1. Taman Laut Nasional Wakatobi di Kabupaten Wakatobi yang merupakan surga bawah laut segitiga karang dunia yang memiliki spesies terumbu karang sebanyak 750 dari 850 spesies karang dunia;
2. Pantai Nirwana di Kota Baubau;
3. Pantai Lakeba di Kota Baubau;
4. Gua Moko di Kota Baubau;
5. Gua lakasa di Kota Baubau;
6. Pantai Kamali di Kota Baubau;
7. Wantiro di Kota Baubau;
8. Hutan Tirta Rimba di Kota Baubau;
9. Batu Poaro di Kota Baubau;
10. Gua Kaisabu di Kota Baubau;
11. Lagawuna di Kota Baubau;
12. Air Terjun Samparona di Kota Baubau;
13. Hutan Lambusango di Kabupaten Buton yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang endemik diantaranya Anoa;
14. Suaka Margasatwa Buton Utara di Kabupaten Buton Utara;
15. Cagar Alam Wakonti di Kota Baubau;
16. Permandian Bungi di Kota Baubau;
17. Kali Baubau di Kota Baubau;
18. Kolagana di Kota Baubau; Sulaa di Kota Baubau;
19. Wisata Bawah Laut Basilika di Kabupaten Buton;
20. Baubau Letter di Kota Baubau;
21. Sungai Tamborasi yang merupakan sungai terpendek di dunia yang terletak di Kabupaten Kolaka Utara;
22. Air Terjun Moramo di Kabupaten Konawe Selatan;
23. Goa Kobori di Kabupaten Muna;
24. Danau Napabale di Kabupaten Muna;


Pemerintahan

Kabupaten dan kota
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Bombana/ Rumbia
2 Kabupaten Buton/ Bau-Bau
3 Kabupaten Buton Utara/ Buranga
4 Kabupaten Kolaka/ Kolaka
5 Kabupaten Kolaka Utara/ Lasusua
6 Kabupaten Konawe/ Unaaha
7 Kabupaten Konawe Selatan/ Andolo
8 Kabupaten Konawe Utara/ Wanggudu
9 Kabupaten Muna/ Raha
10 Kabupaten Wakatobi/ Wangi-Wangi
11 Kota Bau-Bau -
12 Kota Kendari -


Catatan :

Dasar hukum : UU 13/1964
Tanggal penting : 22 September 1964
Ibu kota : Kendari
Gubernur : Nur Alam, SE.
Luas : 38.140 km²
Penduduk : 1.959.414 (2005)
Kabupaten : 10
Kota : 2
Kecamatan : 104
Kelurahan/Desa : 1.529
Suku : Buton (23%), Bugis (19%), Tolaki (16%), Muna (15%)
Agama : Islam, Kristen, Hindu
Bahasa : Bahasa Indonesia
Zona waktu : WITA
Lagu daerah : Peia Tawa-tawa


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tenggara

Sumber Gambar :
http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Sulawesi+Tenggara
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tenggara

Peta Sulawesi Tenggara


View Larger Map

Jumat, 12 Februari 2010

Sejarah Kota Kendari



Terbentuknya Kota Kendari diawali dengan terbukanya Teluk Kendari menjadi pelabuhan bagi para pedagang, khususnya pedagang Bajo dan Bugis yang datang berdagang sekaligus bermukim di sekitar Teluk Kendari. Fenomena ini juga didukung oleh kondisi sosial politik dan keamanan di daerah asal kedua suku bangsa tersebut di kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone.

Pada awal abad ke-19 sampai dengan kunjungan Vosmaer (seorang Belanda) pada tahun 1831, kendari merupakan tempat penimbunan barang (pelabuhan transito). Kegiatan perdagangan kebanyakan dilakukan oleh orang Bajo dan Bugis yang menampung hasil bumi dari pedalaman dan dari sekitar Teluk Tolo (Sulawesi Tengah). Barang-barang tersebut selanjutnya dikirim ke Makassar atau ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura.

Berita tertulis pertama Kota Kendari diperoleh dari tulisan Vosmaer (1839) yang mengunjungi Teluk Kendari untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Mei 1831 dan membuat peta Teluk Kendari. Sejak itu Teluk Kendari dikenal dengan nama Vosmaer’s Baai (Teluk Vosmaer). Vosmaer kemudian mendirikan Lodge (Loji=kantor dagang) di sisi utara Teluk Kendari. Pada tahun 1832 Vosmaer mendirikan rumah untuk Raja Laiwoi bernama Tebau, yang sebelumnya bermukim di Lepo-lepo.

Mengacu pada informasi tersebut, maka Kota Kendari telah ada pada awal abad ke-19, dan secara resmi menjadi ibu kota Kerajaan Laiwoi pada tahun 1832, ditandai dengan pindahnya istana Kerajaan Laiwoi di sekitar Teluk Kendari; dengan demikian, Kota Kendari sebagai ibu kota sudah berusia sekitar 176 tahun, dan jauh sebelum itu telah ada perkembangan sejarah masyarakat di wilayah Kota Kendari sekarang ini.

Kota kendari dalam berbagai dimensi dapat dikatakan sudah cukup tua. Hal didasarkan pada beberapa sumber baik secara lisan maupun dokumentasi. Jika Kota Kendari dilihat dari fungsinya, maka dapat disebut sebagai kota dagang, kota pelabuhan, dan kota pusat kerajaan. Kota Kendari sebagai kota dagang merupakan fungsi yang tertua baik sumber lisan dari pelayar Bugis dan Bajo maupun dalam Lontara’ Bajo, dan sumber penulis Belanda (Vosmaer,1839) dan penulis Inggris (Heeren, 1972) menyatakan bahwa para pelayar Bugis dan Bajo telah melakukan aktivitas perdagangan di Teluk Kendari pada akhir abad ke-18 ditunjukkan adanya pemukiman kedua etnis tersebut disekitar Teluk Kendari pada awal abad ke-19. Sebagai fungsi kota pelabuhan dapat dikatakan pada awal abad ke-19, menyusul fungsi Kota Kendari sebagai kota pusat Kerajaan Laiwoi pada tahun 1832 ketika dibangunnya istana raja di sekitar Teluk Kendari.

Pada waktu Mokole Konawe Lakidende wafat maka Tebau Sapati RanomeEto sudah mengaggap diri sebagai kerajaan sendiri lepas dari kerajaan konawe, dan sejak itu pula Tebau Sapati RanameEto mengadakan hubungan dengan pihak belanda yang kemudian pada waktu belanda datang di wilayah RanomeEto diadakanlah perjanjian dengan Belanda di tahun 1858 yang ditanda tangani oleh ”Lamanggu raja Laiwoi” dan di pihak belanda ditandatangani oleh A.A. Devries atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dan di tahun 1906 pelabuhan Kendari yang dulunya dikenal dengan nama ”Kampung Bajo” dibuka untuk kapal-kapal Belanda. Dengan demikian mengalirlah pedagang-pedagang Tiong Hoa datang ke Kendari. Perhubungan jalan mulai dibangun sampai kepedalaman. Raja diberi gelar Raja Van Laiwoi dan rakyat mulai di resetle membuat perkampungan dipinggir jalan raya. Kendari berangsur-angsur dibangun jadi kota dan tempat-tempat kedudukan district Hoofd.

Kota Kendari dimasa Pemerintahan kolonial Belanda merupakan ibukota kewedanaan dan ibukota onder Afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya pada masa itu kurang lebih 31,420 km2. Sejalan dengan dinamika perkembangan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan laut antar pulau, maka kendari terus tumbuh menjadi ibukota Kabupaten dan masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dengan keluarnya Undang-undang nomor 13 tahun 1964 terbentuklah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kendari ditetapkan sebagai ibukota Provinsi yang terdiri dari 2 (dua) wilayah Kecamatan yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga dengan luas wilayah 76,760 km2.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1978 Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota Administratif yang meliputi 3 (tiga) wilayah Kecamatan dengan luas wilayah 187,990 km2 yang meliputi Kecamatan Kendari, Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Poasia.

Melalui perjuangan panjang dan tekad warga kota untuk merubah status kota administratif menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom, maka dengan keluarnya undang-undang No. 6 tahun 1995 tanggal 3 Agustus 1995 Kota Administratif Kendari ditetapkan menjadi Kotamadya Dati II Kendari yang diresmikan oleh Bapak Mentri Dalam Negeri pada tanggal 27 September 1995 dan tanggal ini pula ditetapkan sebagai hari lahirnya Kotamadya Dati II Kendari.

Sejak, Kota Kendari mulai dikenal sejak itu pula dimulai pembangunan secara bertahap sesuai dengan kondisi waktu itu hal ini tentunya tidak luput dari perkembangan penduduk dan dinamika pembangunan yang dibuktikan dengan adanya pemekaran wilayah mulai dari luas 31,420 Km2 sampai luas 295,89 Km2.

Secara Administratif Kota Kendari berbatasan dengan:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia dan Kecamatan Sampara
• Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sampara, Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Konda.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Maka istilah Dati II dan Kotamadya berubah menjadi Kabupaten/Kota.

Kota Kendari hingga saat ini telah mempunyai 10 (sepuluh) Wilayah Kecamatan dan 64 Kelurahan, Jumlah penduduk Kota Kendari Tahun 2006 berjumlah kurang lebih 244.586 jiwa terdiri 119.529 jiwa laki-laki dan 125.057 jiwa perempuan dengan tingkat pertumbuhan Ekonomi tahun 2006 mencapai 7,64%. Kota Kendari didiami oleh 4 kelompok suku besar yaitu Tolaki, Muna, Buton, Bugis-Makassar, namun yang unik bahwa semua etnis yang ada diwilayah Indonesia dapat dijumpai di Kota Kendari.

Heterogenitas masyarakat yang sangat membanggakan adalah masyarakatnya selalu ingin hidup berdampingan dengan damai menjaga persatuan dan kesatuan, sehingga stabilitas daerah tetap terjaga dengan baik; hal ini merupakan modal dasar untuk melakukan pembangunan demi kemajuan dan perkembangan kota dimasa sekarang dan yang akan datang.

Untuk mengantisipasi kemajuan perkembangan pembangunan, Pemerintah Kota bersama masyarakat membangun Visi Kota Kendari kedepan yaitu: ”MEWUJUDKAN KOTA KENDARI TAHUN 2020 SEBAGAI KOTA DALAM TAMAN YANG BERTAKWA, MAJU, DEMOKRATIS, MANDIRI DAN SEJAHTERA”.

”KOTA YANG MAJU”, artinya Kota ini harus dapat berkembang sejajar dengan kota-kota lain dalam konteks paradigma yang berlaku, kondisi sosial, ekonomi dan budayanya yang maju, tetapi lingkungan fisik juga terpelihara dengan baik,

”DEMOKRATIS” berarti kota yang dapat menerima perbedaan, mengembangkan keterbukaan, mendorong partisipasi masyarakat serta memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk megembangkan potensi dirinya, serta pemerintahan yang dapat mengakomodir segala permasalahan dan persoalan yang ada dalam wilayahnya.

”MANDIRI” berarti kota ini tidak berdiri sendiri dan kerjasama atau kemitraan baik interen maupun eksteren. Diantara komponen warga kota dapat mengembangkan kemitraan, begitu juga kemitraan dengan kota-kota lain.

”SEJAHTERA”, bahwa kota ini harus dapat memberikan kesejahteraan bagi warganya baik secara lahir maupun batin. Untuk mendukung visi kota, maka visi yang akan diemban adalah ”(1) misi lingkungan (2) misi sosial kemasyrakatan (3) misi pelayanan (4) misi perekonomian (5) misi profesionalisme aparat dan (6) misi kepemerintahan yang baik (Good Governance)”.

Kemudian misi tersebut diimplementasikan kedalam 3 (tiga) strategi pendekatan yang meliputi;
1. Peningkatan kualitas SDM, yang meliputi aspek head, heart, dan hand.
2. Catur Bina, yang meliputi bina spiritual, bina sosial ekonomi, bina fisik/lingkungan, dan bina kamtibmas.
3. Peningkatan Daya Saing Kota, meliputi aspek ethics and law enforcement, employment, environment, equity and engegement.


Sumber :

http://www.kendarikota.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=106&limit=1&limitstart=1


Sumber Gambar:

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Kendari

http://www.kendarikota.go.id/

Perjuangan Pemekaran Provinsi Buton Raya Harus Kedepankan Semangat Rakyat

Semangat perjuangan pemekaran Provinsi Buton Raya saat ini ditengari hanya kepentingan elit politik semata. Persolan ini bisa saja menjadi rintangan perjuangan ini. Untuk itu, para elit diminta agar menanggalkan ego politiknya dan bisa memberi ruang sebesar-besarnya kepada rakyat Buton Raya, untuk turut berperan dalam proses pemekaran. Sehingga kesan tersebut tak lagi terlihat sehingga semangat pemekaran ini benar-benar bersumber dari rakyat.

Idris Mandati, Ketua Forum Mahasiswa dan Masyarakat Buton Raya, mengatakan, secara pribadi sebagai tokoh pemuda memberikan apresiasi positif, terhadap upaya yang telah diperjuangkan tokoh-tokoh pemekaran. Hanya saja yang jadi persoalan hari ini, agenda pemekaran provinsi Buton Raya itu, terkesan hanya keinginan dari segelintir elit politik yang ada di daerah, bukan gerakan spontanitas dari rakyat untuk mempresur percepatan pemekaran Provinsi Buton Raya.

“Kekuatan yang berupa persatuan dan kesepahaman persepsi mengenai pemekaran harus dibangun, sehingga kedepan, keinginan pemekaran Provinsi Buton Raya, tidak terkesan sebagai keinginan elit politik. La Teke pun sebagai rakyat jelata, punya hak untuk bicara mengenai percepatan pemekaran provinsi Buton Raya. Karena agenda pemekaran Buton Raya adalah cita-cita semua masyarakat Buton ,” jelasnya.

Buton punya perjalanan yang sama dengan daerah-daerah lain. Artinya, Buton punya identitas yang sama dengan Jogja dan Ternate yang juga daerah kesultanan. Jadi kalau kita bicara Provinsi Buton Raya itu wajar dan pusat harus segera merespon hal itu. Karena, perjalanan sejarah jelas, Buton ketika menyatakan sikap masuk dalam wilayah NKRI pada saat masih sifatnya kerajaan, hanya satu bahasa yang tersirat dalam pertemun itu, yakni rakyat Buton bisa sejahtera dan memiliki identitas yang sejajar dengan daerah-daerah lain, sekarang Ternate bisa, kenapa Buton tidak bisa. “Alangkah naifnya kalau kita rakyat Buton menyatakan tidak perlu berbicara tentang Provinsi Buton Raya. Padahal kita butuh eksistensi yang lebih besar yaitu daerah istimewa dan wajar kalau kita bicara seperti itu, hanya kita tetap menghormati daerah istimewa Jogjakarta, sebagai ikon kesultanan yang masih eksis sampai hari ini, tetapi bukan berarti kita tinggal diam untuk melihat persoalan ini, karena Jakarta harus tahu diri, bahwa pemekaran ini kehendak rakyat Buton semua, walaupun terkesan keinginan para elit politik, tetapi pada prinsipnya, rakyat Buton mendukung percepatan Pemekaran Buton Raya, ini bukan persoalan bagi-bagi jabatan, tapi yang terpenting mengembalikan kesetaraan eksistensi kita dengan daerah-daerah lain yang sudah mekar,” paparnya.

Ruang yang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk berbicara bagaimana percepatan pemekaran Provinsi Buton Raya harus dibuka, sehingga agenda pemekaran semakin jelas sebagai keinginan semua rakyat Buton. “Sekarang ini, kalau kita bertanya kepada masyarakat, kita hanya mendapat jawaban, kalau jadi pemekaran syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa, karena ini adalah keinginan elit politik, tetapi dalam nurani mereka, ketika pemekaran Provinsi Buton Raya didorong sebagai kekuatan penuh oleh rakyat, mereka akan mendukung, dengan tidak melibatkan agenda pemkaran pada dimensi kepentingan elit politik untuk berkompetisi. Saya secara pribadi tidak melihat siapapun yang akan memimpin menjadi gubernur Buton Raya ke depan, sepanjang dipilih oleh rakyat itu yang harus diterima. Terpenting, bagaimana Buton Raya itu secepatnya dimekarkan,” tandasnya.R1


Sumber :
http://kendariekspres.com/content/view/6967/44/
12 Februari 2010

Kota Bau-Bau




Kota Bau-Bau atau Baubau adalah sebuah kotamadya atau kota otonom di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Bau-Bau memperoleh status kota pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001.

Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2006 berjumlah 122.339 jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat jumlah penduduk laki-laki sebanyak 57.027 jiwa (46,61%) dan perempuan 65.312 jiwa (53,39%).

Nilai PDRB daerah Kota Bau-Bau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2007 sebesar Rp1.254,49 miliar, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar Rp586,32 miliar.[1]

Pada 19 Februari 2005, Bau-Bau diguncang gempa bumi berkekuatan 6,9 skala Richter. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut.


Sejarah Singkat

Pada awalnya, Bau-Bau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air, dengan rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.

Kejayaan masa Kerajaan Buton (Wolio) sampai Kesultanan Buton sejak berdiri pada tahun 1332 sampai dengan 1960 telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang gemilang, yang sampai saat ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Saat ini wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara dan Kota Bau-Bau.


Keadaan Wilayah

Luas Wilayah

Kota Bau-Bau mempunyai wilayah daratan seluas 221,00 km², luas laut mencapai 30 km² merupakan kawasan potensial untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut


Letak Geografis

Secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5.21° – 5.33° Lintang Selatan dan di antara 122.30° – 122.47° Bujur Timur, atau terletak di sebelah Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Wilayah Kota Bau-Bau berbatasan dengan:

Sebelah Utara: Selat Buton
Sebelah Timur: Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton
Sebelah Selatan: Kecamatan Pasar Wajo, Kabupaten Buton
Sebelah Barat: Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton


Pemerintahan Daerah


Wilayah Kota Bau-Bau terdiri dari 7 Kecamatan, yaitu:


1. Betoambari
2. Bungi
3. Kokalukuna
4. Murhum
5. Sorowalio
6. Wolio

7. Lea-Lea


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bau-Bau


Sumber Gambar:

http://sultra.bps.go.id/baubau/

http://perkempinas2009.wordpress.com/2009/04/13/sambut-perkempi-nasional-baubau-berbenah/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bau-Bau
 

Jadikan Wakatobi Ikon Baru Indonesia


Wakatobi di Sultra mempunyai pesona laut yang indah. Ikan Behn's Damsel dengan seekor ikan pembersih di antara terumbu karang di perairan ini salah satunya. Persoalannya, transportasi ke sana masih susah. Karena itu Pemkab Wakatobi terpaksa memberikan subsidi mengambang kepada Merpati.

Departemen Kebudayaan dan Parawisata (Depbudpar) RI diminta menetapkan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai destinasi wisata utama Indonesia. Wakatobi punya potensi jadi ikon baru wisata Indonesia.

Bupati Wakatobi Hugua di Wangi-Wangi, Kamis, mengatakan pemerintah dan masyarakat optimistis daerah pemilik 750 spesies terumbu karang itu dinobatkan sebagai destinasi wisata andalan Indonesia.

"Pemeritah dan rakyat Wakatobi sudah menunjukan kepada dunia bahwa pihaknya serius menjadikan wisata bahari sebagai prioritas pembangunan selain sektor perikanan," kata Bupati Hugua pada acara festival budaya Wakatobi Sail Indonesia 2009.

"Jangan ada keraguan untuk menetapkan Wakatobi sebagai destinasi pengembangan wisata di Tanah Air. Kalau Laut Karibia memiliki 50 spesies terumbu dan Laut Merah 300 spesies maka Wakatobi dengan luas kawasan terumbu karang 1,3 juta hektare mengandung 750 spesies," kata Hugua.

Ia mengakui bahwa konsekuensi menuju penetapan Wakatobi sebagai destinasi wisata utama harus didukung oleh infrastruktur memadai, antara lain, akomodasi perhotelan.

Dirjen Pengembangan Destinasi Parawisata Depbudpar RI, Firmansyah Rahim mengatakan permintaan penetapan Wakatobi sebagai destinasi utama wisata Indonesia sesuatu yang wajar.

"Berdasaran potensi, dukungan pemerintah dan sambutan masyarakat Wakatobi maka sesuatu yang wajar jika daerah ini menyandang destinasi wisata utama mendampingi 10 destinasi wisata lainnya di Indonesia," kata Firmansyah.

Ia mengakui keseriusan pemerintah bersama masyarakat setempat menggenjot pembangunan potensi wisata bahari Wakatobi yang dibuktikan dengan operasionalnya lapangan terbang Matahora.

Selain melalui transportasi udara dari dan ke Wangi-Wangi, Bau-Bau dan Kendari juga dapat melalui transportasi kapal laut dari dan ke Kendari ke Wangi-Wangi. Juga dari dan ke Bau-Bau ke Wangi-Wangi.

Tarif tiket melalui pesawat udara dari Kendari ke Wangi-Wangi sekitar Rp500 ribu/orang sedangkan melalui kapal laut dari Kendari ke Wangi-Wangi sebesar Rp100 ribu/orang.


Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2009/08/28/09592570/Jadikan.Wakatobi.Ikon.Baru.Indonesia
28 Agustus 2009

Taman Nasional Wakatobi


Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya, dengan panorama bawah laut yang menakjubkan. Secara umum perairan lautnya mempunyai konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan terdapat yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.

Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili diantaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.

Kekayaan jenis ikan yang dimiliki taman nasional ini sebanyak 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias diantaranya argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan lain-lain.


Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).

Masyarakat asli yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu suku laut atau yang disebut suku Bajau. Menurut catatan Cina kuno dan para penjelajah Eropa, menyebutkan bahwa manusia berperahu adalah manusia yang mampu menjelajahi Kepulauan Merqui, Johor, Singapura, Sulawesi, dan Kepulauan Sulu. Dari keseluruhan manusia berperahu di Asia Tenggara yang masih mempunyai kebudayaan berperahu tradisional adalah suku Bajau. Melihat kehidupan mereka sehari-hari merupakan hal yang menarik dan unik, terutama penyelaman ke dasar laut tanpa peralatan untuk menombak ikan.

Pulau Hoga (Resort Kaledupa), Pulau Binongko (Resort Binongko) dan Resort Tamia merupakan lokasi yang menarik dikunjungi terutama untuk kegiatan menyelam, snorkeling, wisata bahari, berenang, berkemah, dan wisata budaya.

Musim kunjungan terbaik: bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi: Kendari ke Bau-bau dengan kapal cepat regular setiap hari dua kali dengan lama perjalanan lima jam atau setiap hari dengan kapal kayu selama 12 jam. Dari Bau-bau ke Lasalimu naik kendaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu-Wanci selama 2,5 jam. Wanci merupakan pintu gerbang pertama memasuki kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Kantor : Jl. Dayanu Ikhsanudin, Bau-bau
Buton, Sulawesi Tenggara
Telp. (0402) 25652
E-mail: tnkw-buton@msn.com

Dinyatakan ----
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 393/Kpts-V/1996
luas 1.390.000 hektar
Ditetapkan Menteri Kehutanan, SK No. 765/Kpts-II/2002
luas 1.390.000 hektar
Letak Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara

Temperatur udara 19° - 34° C
Curah hujan 1.000 – 2.200 mm/tahun
Ketinggian tempat 0 - 3 meter dpl
Letak geografis 5°12’ - 6°10’ LS, 123°20’ - 124°39’ BT

Sumber :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_wakatobi.htm

Etnis Muna

Etnis Muna mendiami sebuah pulau berpasir dan berbatu 'Muna', yang terbentang beberapa jauh dari pantai tenggara Sulawesi.

Etnis Muna sangat dekat dengan etnis Buton, dan seperti mereka, pernah merupakan bagian kesultanan Buton. Kesultanan ini mencakup Buton, Muna, Kabaena, dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada 1910, Muna dibawah kendali Belanda. Seemnjak itu, orang-orang di wilayah ini mengalami banyak perubahan budaya karena dominasi Bugis dan eksploitasi oleh Belanda.

Saat ini, berbagai etnis yang mendiami pulau-pulau di bagian tenggara Sulawesi bertutur bahasa yang mirip dan berbagi budaya. Mereka sangat terkait dengan Mori-Laki, yang tinggal di berbatasan dengan tanah daratan.

Dahulu, Sultan Buton mengendalikan Muna melalui hirarki penasehat dan pejabat. Pemimpin lokal, yang dipilih dari keluarga para pendahulu mereka, tinggal di ibu kota. Muna dikendalikan oleh Belanda mulai 1910 hingga 1949.

Saat ini, masyarakat Muna terbagi atas beberapa kelas: Kaoem (bangsawan kelas atas), Wakale (bangsawan kelas bawah), dan Mardeka (rakyat jelata), diikuti oleh kelas budak dan keturunan merka. Masing-masing kelas memiliki hak-hak istimewa tertentu, perhiasan, pakaian, dan lagu.

Indonesia memiliki lebih dari 8 juta petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Pemerintah menawarkan lahan gratis, perumahan, dan bantuan lainnya kepada mereka yang ingin pindah dari jawa, Bali dan Madura ke pulau-pulau yang masih terbelakang pembangunanya. Para petani di Muna umumnya memakai cara "tebang dan bakar" untuk pertanian. Mereka bercocok tanam padi, ubi jalar, tebu, sayuran dan kopi.

Pulau Muna dibagi menjadi menjadi wilayah-wilayah desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa, karena lembaga tersebut yang memegang kepemilikan atas lahan. Rumah-rumah tersebar di tanah-tanah lapang, dan biasanya dibangun diatas tumpukan tanah yang atapnya terbuat dari anyaman dedaunan dan memiliki atap yang cukup tinggi.

Bila pasangan muda-mudi Muna bertunangan, keluarga pengantin membayar kepada keluarga Si gadis. Pembayaran tambahan juga dilakukan pada saat pesta pernikahan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari pengantin. Sebelum perkawinan, Si pemuda juga diharuskan bekerja untuk jangka waktu tertentu pada calon mertuanya. Kebiasaan seperti ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi.

Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Ploigami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dipraktekan.

Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Sebelum abad ke-14, Hindu tersebar luas di nusantara, tetapi sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil.

Etnis Muna pada prakteknya merupakan Muslim Sunni, meskipun kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat.

dikutip dari Joshua Project, 1999 (diterjemahkan)


Sumber :
http://www.idrap.or.id/id/ethno_muna.htm

Petaka Alam di Konawe Utara

Sepertiga dari Luas Kabupaten Konawe Utara merupakan kawasan hutan. Secara geografis daerah ini merupakan hamparan pengunungan tinggi, rawa dan bukit ilalang. Hutannya memiliki luasan yang sangat besar jika dibandingkan dengan luasan hutan dibeberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara.

Selain menyimpan keanekaragaman ekosistem hayati yang tinggi, hutan ini juga berfungsi sebagai daerah resapan air yang sangat vital bagi penduduk sekitarnya, merupakan bersumber mata air sungai terbesar ketiga di Sulawesi Tenggara yakni sungai Lasolo yang mengalir dan membentuk puluhan anakan sungai.

Keberadaan sungai Lasolo telah turut mendukung perekonomian masyarakat sekitar, selain dimanfaatkan sebagai jalur transportasi juga menyimpan berbagai potensi hidupan air tawar yang dikelola secara arif untuk memenuhi kebutuhan hari-hari mereka.

Hancurnya sumber daya alam hayati di suatu kawasan akan sangat memiskinkan masyarakat sekitar, yang sebelumnya menjadikan kawasan hutan sebagai basis ekonomi. Sumber daya alam hayati menyediakan berbagai hasil hutan kayu dan non kayu yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan selama ribuan tahun, itu berarti proses perdagangannya juga sudah berlangsung sama.

Mengelola bisnis hasil hutan berupa kayu memang cukup menjanjikan keuntungan yang luar biasa, sehingga tidak sedikit dari pelaku-pelaku bisnis yang menanamkan modalnya dibidang usaha perkayuan, mulai dari bentuk logging hingga balok atau papan. Model perijinan pun beragam mulai dari HPH, IPK sampai model IPKTM.

Namun akhir-akhir ini bisnis kayu mulai melemah sejak isu kehutanan khususnya hasil hutan kayu menjadi sorotan utama akibat pengelolaannya yang mengesampingkan sisi keseimbangan ekosistem, terutama keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, disisi lain karena usaha ini menjadi sarang KKN yang merugikan negara.

Kebijakan kehutanan mulai diarahkan untuk lebih berorientasi pada pengelolaan hasil hutan non kayu seperti rotan, madu dan lain-lain, karena dianggap lebih tepat sasaran selain dapat menjaga keseimbangan ekosistem, juga karena kebijakan ini lebih mengarah pada bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar hutan untuk mengelola dan menjaga hutannya sendiri.

Rotan merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi, hasil hutan non kayu ini terdiri dari 150 jenis didunia dan 12 jenis diantaranya terdapat dihutan Sulawesi Tenggara tak terkecuali di hutan Asera. Beberapa jenis diantaranya yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sebut saja seperti jenis rotan batang, lambang, tohiti dan berbagai jenis lainnya.

Dari sisi konservasi, rotan merupakan tumbuhan yang tumbuh berkelompok dan menjalar diantara pohon-pohon kayu, menjadi berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekositem yang ada. Pemanenan rotan secara berkelanjutan menjadi penting dilakukan untuk menjaga pertumbuhan hasil hutan kayu, disisi lain agar keseimbangan tetap terjaga.

Eksistensi hutan, tentunya masyarakat Asera yang banyak belajar dari pengalaman telah benar-benar mengerti bagaimana mengelola hutan terutama potensi rotan secara berkelanjutan. Mengapa?, karena masyarakat Asera telah melakoni usaha pengelolaan rotan secara turun-temurun, selain karena hutan Asera sangat kaya akan berbagai jenis rotan yang dibutuhkan dipasaran lokal juga karena masyarakat pengumpul rotan dapat memperoleh keuntungan yang setimpal, sehingga itulah rotan dijadikan sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Usaha rotan tentunya jika dikelola dengan baik akan mendatangkan keuntungan yang besar, bahkan mampu menyaingi usaha dibidang perkayuan. Hanya saja masyarakat khususnya diwilayah Asera masih terkendala pada perolehan modal usaha yang terbatas, sehingga mereka hanya mampu menjualnya kepedagang pengumpul dalam bentuk gelondongan. Pedagang-pedagang pengumpul tersebut rata-ratanya merupakan perpanjangan tangan dari pengusaha-pengusaha berketurunan cina. Selain terkendala pada perolehan modal usaha, keterampilan masyarakat untuk mengelola rotan berkualitas baik masih sangat terbatas, padahal keuntungan yang bisa diperoleh akan semakin besar.

Sudah saatnya pemerintah daerah melirik usaha ini, terutama mendorong terbentuknya usaha-usaha komunal seperti Koperasi, pemberian pinjaman dalam bentuk modal usaha dan peningkatan keterampilan masyarakat dalam mengelola usaha rotan secara berkualitas.

Disisi lain usaha ini akan meningkatkan penerimaan PAD (pendapatan asli daerah) khususnya disektor hasil hutan non kayu, bukan saja kepada pemerintah Kabupaten Konawe tetapi juga pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara.

Bencana HPH, SAWIT dan IPKTM

Hak pengusahaan hutan di Konawe Utara (Konut), adalah kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan hutan melalui pengolahan kayu dengan prasyarat tertentu di wilayah itu. Dengan SK HPH 1035/KPTS-II/1992, tanggal 2 November 1992, HPH PT Intisixta mulai masuk di Konut dengan luas konsesi 296.000 hektar. Perusahaan ini memperoleh jatah tebangan minimum 84.000 meter kubik dan jatah tebangan maksimum sebanyak 140.300 meterkubik tiap tahunnya.

Kehadiran PT. Intisixta diwilayah ini tidak lain karena didasari oleh kepentingan pemerintah untuk mendorong usaha disektor kehutanan yang kemudian akan berkontibusi pada peningkatan pendapatan asli daerah dan memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Namun harapan tidak selamanya menjadi kenyataan, terbukti sejak mulai beroperasinya HPH PT. Intisixta sejak saat itu pula hutan Asera (sebelum pemekaran wilayah Kecamatan Asera) berada dibawah tekanan luar biasa, kehancuran ekosistem mulai nampak, kearifan lokal yang dipelihara secara turun-temurun mulai terusik, kondisi ekonomi masyarakat menurun akibat terbatasinya aktifitas masyarakat disekitar areal konsesi perusahaan, janji-janji manis perusahaan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar mulai terlupakan dan terkubur hingga saat ini.

Berselang beberapa tahun kemudian secara perlahan-lahan intensitas banjir meningkat, volume banjirpun mulai berubah, kalau dulu masyarakat telah mengetahui kapan datangnya banjir tapi saat ini masyarakat sering dikagetkan oleh banjir. Bahkan sepengetahuan masyarakat Asera selamai ini mereka baru mengalami dua kali banjir bandang yang luar biasa.

Banjir bandang yang pertama terjadi pada tahun 1996 ketika itu HPH PT. Intisixta baru beroperasi selama 4 tahun hasilnya adalah masyarakat menelan kerugian materil bernilai ratusan juta rupiah, karena banjir ini pula jalur transportasi masyarakat terputus disebabkan karena satu-satunya jembatan permanen bernilai milyaran rupiah ikut terbawa arus.

Sedangkan banjir bandang yang kedua terjadi pada bulan Juni 2006 lalu atau setelah kurang lebih 14 tahun HPH PT. Intisixta meraup keuntungan sepihak dan masyarakat Asera harus kembali menelan kenyataan pahit dan merelakan 97 unit rumah ambruk, 64 rumah hanyut sehingga sekitar 485 warga kehilangan tempat tinggal serta beberapa fasilitas umum, seperti Kantor Camat Asera, Kantor Koramil, Puskesmas tak bisa digunakan lagi.

Beberapa lembaga lingkungan menyimpulkan bahwa banjir yang terjadi di Kecamatan Asera lebih disebabkan karena tingkat deporestasi (laju kerusakan hutan) yang sangat tinggi yang dilakoni oleh HPH dan maraknya pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Beberapa perusahaan diantaranya HPH PT. Intisixta, Perkebunan Sawit PTPN XIV, PT. Torganda Gruop, PT. Celebes dan Sultra Prima Lestari. Kebanyakan perusahaan ini melakukan aktitasnya disekitar DAS Lasolo dan Lalindu, sehingga tidak heran kalau hujan gerimis mampu mendatangkan banjir bah.

Kesimpulan yang ditarik oleh kelompok-kelompok yang peduli terhadap penyelamatan lingkungan dan ekosistem hayati tersebut sekaligus menggugurkan statemen pemerintah daerah Konawe bahwa banjir yang terjadi pada Juni 2006 ini adalah lebih disebabkan karena faktor alam dan terjadi dalam kurun waktu 10 tahun.

Statemen ini dianggap lebih bersifat pembelaan untuk menyelamatkan muka PEMDA dan pihak HPH dari kepedihan mendalam yang dirasakan oleh masyarakat Asera korban banjir. Kehadiran PT. Intisixta telah banyak menuai kritik, bukan saja oleh masyarakat setempat atau individu-individu tetapi hampir seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ditingkat lokal bahkan nasional yang memiliki visi pengelolaan sumber daya alam hayati yang adil berkelanjutan.

Berbagai bentuk perlawanan telah dilakukan, mulai tingkat lokal hingga nasional, kegiatannyapun beragam mulai dari diskusi, aksi lapangan hingga intervensi kebijakan, namun kesemuanya itu belum membuahkan hasil apa-apa.

Ironisnya pada level pengambil kebijakan juga terjadi gontok-gontokan, disatu sisi mereka yang tidak memiliki pemahaman lingkungan dan sempat menikmati hasilnya lebih memilih diam, sementara yang memang benar-benar serius memikirkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat secara tegas menolak keberadaan perusahaan ini.

Selain perusahaan HPH dan beberapa perusahaan sawit, yang diklaim sebagai penyebab utama, aktivitas penebangan kayu juga dilakukan oleh beberapa pengusaha siluman yang berlabel IPKTM. Mafia-mafia IPKTM kebanyakan memanfaatkan masyarakat lokal untuk memuluskan proses pemberian ijin eksploitasi dan menjadikan beberapa aparat sebagai backing.

Ironis memang masyarakat yang semestinya lebih memahami pola kerja IPKTM, kenyataannya justru lain, masyarakat bahkan kembali mempertanyakan apa itu IPKTM dan untuk siapa?.

Dari masyarakatlah kemudian diketahui bahwa ijin IPKTM itu hanyalah label belaka untuk memuluskan rencana eksploitasi hutan, terbukti beberapa pengusaha siluman yang memanfaatkan masyarakat lokal untuk melakukan pengolahan diluar dari kesepakatan yang ada.

Sementara masyarakat yang selama ini dikambing hitamkan hanya dimanfaatkan sebagai buruh demi sesuap nasi. Dari data citra satelit Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unhalu, dari tahun 2003 sampai 2005, menunjukkan perubahan yang sangat signifikan terhadap penutupan atau penggunaan lahan di wilayah Asera sekitar 36 persen.

Ini disebabkan karena maraknya pembukaan areal perkebunan kelapa sawit, perambahan lahan oleh warga, dan penggunaan lainya yang tidak terkendali, seperti HPH (Hak Pengelolaan Hutan), IPKTM (Ijin Pengelolaan Kayu Hutan Milik Masyarakat), yang tidak terkontrol dengan baik. Kejadian ini menjadi bukti kelemahan pemerintah daerah dalam melakukan kontrol terhadap terhadap pengusaha IPKTM, sehingga kecenderungannya para pengusaha itu memanfaatkan peluang yang ada untuk meraup keuntungan besar dari kayu.

Padahal jika kita telaah lebih jauh semestinya PEMDA melakukan pengawasan ekstra, karena selain tindakan tersebut merugikan daerah dari sisi penerimaan PAD juga akan menjadi sumber konflik dan bencana seperti yang dirasakan oleh masyarakat saat ini. Masyarakat Asera selama ini merasakan betul eksploitasi hutan yang telah berlangsung lama, karena kehadiran perusahaan-perusahaan inilah yang secara sistematis menghancurkan tatanan ekologis dan merombak tatanan hidup masyarakat Asera yang sudah terjaga sejak puluhan tahun lalu.

Harapan masyarakat Asera juga sama dengan harapan semua orang, adalah bagaimana kehidupan mereka aman dari bencana banjir, perekonomian mereka sehat dan kesehatan terjamin. Kita semua harus sadar, berangkat dari niat yang tulus mari kita samakan persepsi untuk menyelamatkan hutan Asera, karena dengan semakin berkurangnya areal hutan di kawasan ini, maka seluruh Jazirah Sulawesi Tenggara masih berada dibawah ancaman bencana alam yang besar.


Sumber :
Abdul Saban
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Petaka+Alam+di+Konawe+Utara&dn=20081109112307
9 November 2008

Profil Kabupaten Konawe Selatan


Kabupaten Konawe Selatan merupakan pemekaran dari Konawe. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Kota Kendari di sebelah utara, Kabupaten Muna dan Selat Tiworo di sebelah selatan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Kolaka di sebelah barat, serta Selat Wowonii di sebelah timur. Secara administratif, kabupaten ini terbagi menjadi 11 kecamatan dengan Andoolo sebagai ibukota kabupaten.

Perekonomian Kabupaten Konawe Selatan masih bergantung pada sektor pertanian.Kabupaten Konawe sebelum mengalami pemekaran dikenal sebagai lumbung padi bagi Sulawesi Tenggara. Sentra penghasil padi di kabupaten ini terletak di Kecamatan Ranomeeto, Konda, Morampo, Lainea, Andoolo dan Angata. Selain tanaman pangan, lapangan usaha pertanian juga turut berperan. Enam dari kecamatan yang ada merupakan kecamatan yang memiliki garis pantai yakni Kecamatan Moramo, Laonti, Kolono, Lainea, Palangga dan Tinanggea. Sentra penghasil ikan laut sendiri berada di Kecamatan Lainea, kolono, Tinganggea dan Moramo denga jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti tuna, cakalang, udang, gurita, layang, tongkol dan teri. Petani dan nelayan Konawe Selatan juga membudidayakan ikan di tambak, kolam dan laut. 

Disektor perkebunan, wilayah Konawe Selatan menghasilkan kelapa, kopi, cengkeh, kakao, mete dan tebu. Hasil perkebunan yang merupakan andalan Konawe Selatan adalah mete. Di sini juga telah ada pabrik pengolahan mete yang mendatangkan nilai tambah. Produksinya di samping dipasarkan ke Sulawesi juga dikirimkan ke Pulau Jawa. Potensi untuk perkebuna tebu juga terbuka lebar. Des Lalobao dan Desa Anese di Kecamatan Tinanggea menjadi daerah yang dikembangkan untuk penanaman tebu. Luas areal yang disediakan lebih dari 20.000 hektar. Diperkirakan dengan luas lahan tersebut, akan dihasilkan 1,3 juta ton hingga 1,6 juta ton tebu yang jika diolah dapat menghasilkan 104.000 hingga 130.000 ton gula pasir. Hasil panen dari areal tersebut untuk sementara dikirim ke Pabrik Gula Bone dan Pabrik Gula Camming di Provinsi Sumatera Selatan mengingat belum adanya industri pengolahan untuk komoditas tersebut di kabupaten ini.


Sumber Data:
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Made Sabara No. 3, Kendari 93111
Telp (0401) 321751

Fax (0401) 322355

Sumber :

http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=7408


Pemda Konawe Utara Diminta Tindak Tegas Perusahaan Sawit


Maraknya pembakaran kawasan hutan di Kabupaten Konawe Utara membuat para aktifis lingkungan hidup di Sultra angkat suara. Mereka meminta intervensi pemerintah kabupaten konawe utara segera dilakukan. Jika perlu menindak tegas pemilik perusahaan sawit yang diduga sebagai penyebab kebakaran hutan di wilayah asera-wiwirano.

Keprihatinan ini disampaikan Sahrun Karim Deputy Direktur Walhi Sultra yang melihat tidak bergemingnya pemerintah sebagai pertanda buruk.

“Apabila pemerintah Kabupaten Konawe Utara tidak segera mengembil sikap tegas, maka akan memperparah kerusakan lingkungan. Kebakaran diakibatkan oleh pembakaran lahan untuk perkebunan sawit,"kata Sahrun Karim.

Menurut Sahrun sudah terdapat puluhan perusahaan yang mendapatkan persetujuan pengolahan pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan oleh Bupati Konawe selaku bupati induk.

Banyaknya perusahaan yang akan beroperasi tersebut akan menambah tekanan terhadap lingkungan hidup dan penghancuran keanekaragaman hayati di wilayah asera dan wiwirano.

Belum lagi ditambah dengan industri yang lain baik yang bergerak dibidang kehutanan yakni HPH dan IPK maupun indsutri ekstraktif yang bergerak dipenambangan Nikel dan Pasir Besi.(Yoshasrul)


Berikut data 10 Perusahaan yang telah dan akan beroperasi di Kabupaten Konawe Utara yakni:

1. PTPN XIV yang telah lama eksis dengan luas lahan yang telah dimanfaatkan seluas 4.162 Ha dari rencana seluas 6.000 Ha

2. PT. Damai Jaya Lestari yang telah memanfaatkan sekitar 1000 Ha dari rencana pengembangan 16.000 Ha

3. PT. Sultra Prima Lestari yang telah memanfaatkan sekitar 2.000 ha dari rencana pengembangan seluas 20.000 Ha yang terbentang dari Desa Sambandete sampai ke Desa Labungga

4. PT. Celebes Agro Lestari yang telah memperoleh izin seluas 20.000 Ha yang terbentang dari Desa Sambandete sampai ke Desa Paka Indah

5. PT. Agro Tama Makmur Abadi seluas 20.000 Ha

6. PT. Sulawesi seluas 12.000 Ha

7. PT. SAIP

8. PT. Telaga Mas

9. PT. Bintang Karsa Sulawesi seluas 20.000 Ha

10. PT. Konawe Agro Palm seluas 20.000 Ha

11. PT. Mulya Tani

12. PT. Bina Muda Perkasa

13. PT. Artha Dharma Mandiri

14. PT. Pembangunan Sultra

sumber data: Walhi sultra


Sumber :

http://greenpressnetwork.blogspot.com/2007/10/pemda-konawe-utara-diminta-tindak-tegas.html

9 Oktober 2007


Sumber Gambar:

Hasrul Kokoh | Lomba Foto YPHL: Demi Sawit

http://www.kabarindonesia.com/foto.php?pil=20081009205721

9 Oktober 2008

Petualangan di Laut Kolaka


Untuk mengisi waktu libur, sabtu, minggu sasaran petualangan kali ini adalah laut kolaka. Tempatnya diseputar pulau Lambasina. Kolaka adalah salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara. Perjalanan dari Kota Kendari dengan kendaraan darat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam.

Kolaka adalah ibu kota kabupen Kolaka. Kadang orang-orang menyebutnya juga sebagai buimi mekongga. Banyak orang mengenal Kota Kolaka karena banyak hal. Kota ini juga sebagai kota transit bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan dri Makassar ke Kendari.

Kota ini terdapat pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Bone di Sulawesi Selatan dengan terlebih dahulu mengarungi teluk bone.

Selain pelabuhan transit, kabupaten Kolaka juga terkenal dengan penghasil tambang yang terkenal dengan ANTAM (Aneka Tambang).

PT. ANTAM berkedudukan di kecamatan Pomalaa. Dibutuhkan waktu kurang dari 30 menit dari Kota Kabupaten Kolaka menuju pusat pertambangan nikel itu.


Kabupaten kolaka yang berbatasan dengan kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe. Kota ini juga dikenal dengan penghasil bumi yang beragam. Diantaranya, coklat dan cengkeh.

Tak kalah pentingnya, Kabupaten Kolaka dikenal dengan kota terbersih yang dibuktikan dengan diraihnya piala adipura dari Presiden. Piala ini kalau saya tidak salah sudah empat kali secara berturut-turut diraihnya.

Di mulut kota kolaka, atau berhadapan dengan pelabuhan penyeberangan terdapat bangunan asri berupa rumah adat mekongga. Dari bangunan ini kita bias melihat pelabuhan dengan lautnya yang begitu indah mempesona.

Masih dipinggir laut yang indah itu terdapat bangunan pasar sentral mekongga. Pasar ini dibuka tiap hari. Dan disamping pasar sedang berlangsung satu pembangunan pusat pembelanjaan, seperti mall barangkali.

Pada sisi kanan bangunan rumah adat mekongga, terdapat satu bangunan masjid agung yang berdiri megah dengan kubah yang begitu indah dipandang dari kejauhan. Mesjid ini juga telah digunakan dalam pelaksanaan MTQ tingkat propinsi.

Dari dua lokasi ini, rumah adat mekongga dan mesjid kita dapat memandang gugusan gunung yang ada di tengah laut. Salah satunya adalah pulau Lambasina. Pulau lambasina dapat ditempuh dari pelabuhan sekitar 2 jam dengan menggunakan perahu nelayan.

Disekitar pulau inilah sasaran saya untuk melakukan refreshing. Saya lima orang lainnya melakukan perjalanan ke laut. Sasarannya disekitar pulau lambasina.

Menurut cerita nelayan, bahwa lokasi itu adalah tempatnya para pemancing mania untuk menguji ketahanan fisik, kesabaran untuk mendapatkan aneka ikan.

Tapi sayang kunjungan kami kali ini tidak memberikan hasil yang memuaskan. Dua dari lima orang terpaksa harus istirahat total akibat cuaca dan gelombang yang tidak bersahabat.

Rombongan kami hanya bisa bertahan di laut kurang lebih 4 jam. Nahkoda kapal pun sudah memberi isarat tarik jangkar dan mencari perlindungan untuk menghidari badai yang lebih besar lagi.

Ditengah-tengah perlindungan kami masih sempat melakukan kegiatan memancing.. Lumayan hasilnya meski hanya ikan yang berukuran kecil. Karena kondisi dua sahabat yang tidak bias lagi bertahan, maka malam itu diputuskan untuk kembali ke pangkalan di Kolaka.

Perjalanan pulang pun terpaksan dilakukan. Perahu yang kami tumpangi tepat pukul 12.00 malam sandar di pelabuhan rakyat di kolaka. Hasil yang didapat, malam itu juga langsung di bakar untuk dinikmati bersama.

Hm.. nikmati ikan sunu super yang dibakar. Setelah istirahat sejenak, sekitar pukul 03.00 dini hari kami star tinggalkan kolaka menuju Kendari.


Sumber :

Muchtar Kadir

http://wisata.kompasiana.com/2009/12/22/petualangan-di-laut-kolaka/

22 Desember 2009

Sumber Gambar :

http://id.wiki.detik.com/wiki/Kabupaten_Kolaka


Profil Kabupaten Kolaka


Kabupaten Kolaka adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kotanya adalah Kolaka. Kabupaten ini secara geografis terletak antara 313 - 435 Lintang Selatan dan 12105 - 12199 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Kolaka disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Wulu, disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton, Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Kendari, dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone. Luas wilayah Kabupaten Kolaka 6.918,38 Km2 yang terbagi menjadi sebelas kecamatan.

Kabupaten Kolaka memiliki hasil tambang berupa biji nikel yang banyak ditemukan di kecamatan Pomalaa. Nikel dimanfaatkan sebagai penyalut karena tahan karat dan keras. Percampuran antara nikel dengan tembaga misalnya, digunakan untuk membuat sendok dan garpu. Hasil tambang ini dikelola oleh PT Pertambangan Nikel Indonesia di-merger dengan enam perusahaan negara lainnya seperti PN Logam Mulia pada 5 Juli 1968 dan berubah menjadi PT Aneka Tambang. Selain bijih nikel, perusahaan ini juga memproduksi feronikel atau feni yang merupakan paduan logam antara nikel dan besi (fero). Bijih nikel dipasarkan ke Je-pang dan Australia. Sedangkan feronikel dalam bentuk batangan logam atau ingot dijual ke negara Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang. Harga jualnya berdasarkan pada harga logam internasional yang mengacu pada London Metals Exchange (LME).

Di sektor pertanian, Kabupaten Kolaka menghasilkan kakao dan tanaman perkebunan seperti merica dan cengkeh. Untuk tanaman pangan komoditi yang dihasilkan kabupaten ini adalah ubi jalar, kacang tanah, jagung, ubi kayu, kacang kedelai, kacang hijau, jagung, kacang kedelai, dan kacang hijau. Kualitas pertanian di kabupaten ini juga mulai ditingkatkan dengan pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas produksi.

Lahan perkebunan kabupaten ini terdiri dari pegunungan dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Jenis tanaman perkebunan rakyat yang berkembang terdiri 17 (Tujuh belas) jenis yaitu : Kelapa, Kopi, Kapuk, Lada, Asam, Pinang, Panili, Tebu, Sagu.

Di sektor peternakan, Jenis populasi ternak yang dikembangkan di Kabupaten Kolaka terdiri dari ternak sapi, Kerbau, dan Kuda sedangkan ternak kecil adalah kambing dan babi serta ternak unggas seperti ayam kampung, ayam ras, dan itik. Untuk pusat ternaknya sendiri terdapat di Kecamatan Watubangga, Ladongi, Lambandia dan Tirawuta.


Sumber Data:
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Made Sabara No. 3, Kendari 93111
Telp (0401) 321751
Fax (0401) 322355


Sumber :
http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=7404

Jalan-Jalan ke Ereke, Buton Utara


Tanggal 28 Januari kemarin, embun masih melekat di ujung daun ketika saya melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah menuju ke terminal Lapangan Temba yang merupakan terminal angkutan keluar Kota Baubau. Ikut bersama saya sebuah tas punggung berwarna hitam yang menggembung berisi beberapa lembar pakaian dan dokumen. Hari itu saya akan pergi menuju ke Kulisusu, ibukota sementara Kabupaten Buton Utara yang untuk keperluan dinas. Jaraknya 193 km dari Kota Baubau. Untuk itu saya sudah harus berada di terminal sebelum pukul 06.00 jika tidak ingin ditinggal pergi oleh angkutan.

Selain untuk keperluan dinas, perjalanan ini juga merupakan jawaban bagi rasa penasaran saya akan cerita, keadaan alam dan manusia-manusia yang mendiami daerah yang baru memekarkan diri Kabupaten Muna di Tahun 2007. Menurut sejarah, Kulisusu/Kolencusu/Kalingsusu merupakan salah satu dari empat benteng pertahanan Barata Patapalena (cadik penjaga keseimbangan perahu negara) di masa Kesultanan Buton. Barata Kulisusu bersama-sama dengan Barata Muna, Barata Tiworo dan Barata Kaledupa merupakan pintu-pintu pertama pertahanan sebelum musuh merengsek ke dalam wilayah pusat kekuasaan di Bau-Bau. Olehnya itu mereka memiliki peran yang cukup penting dalam menjaga keselamatan negara. Mereka juga diberi hak otonom untuk mengatur sendiri daerahnya termasuk memiliki tentara sendiri namun dengan batasan-batasan pengaturan yang sudah digariskan oleh pemerintahan pusat yang ada di Bau-Bau.

Tapi itu adalah cerita dimasa dahulu, di saat Kesultanan Buton belum mengintegrasikan diri ke dalam NKRI. Adapun cerita tentang Buton Utara saat ini adalah kisah tentang daerah yang tidak terurus karena dianaktirikan dalam pembangunan selama puluhan tahun. Akses ke daerah ini hanya terbuka melalui pintu-pintu laut padahal merupakan daratan yang tidak terputus dengan saudaranya di Kabupaten Buton. Jalanan beraspal mulus masih merupakan mimpi-mimpi yang belum terwujudkan selama bertahun-tahun. Aliran listrik masih menjadi kebutuhan yang sulit dipenuhi di sebagian besar daerah. Di ibukota kabupaten sendiri, listrik hanya mengalir pada pukul 18.00-06.00. Pintu komunikasi hanya terbuka melalui wartel satelit itupun dalam jumlah yang masih bisa dihitung dengan jari.

Cerita tentang Buton Utara saat ini adalah ironi sebuah kawasan yang kaya sumberdaya alam namun hampir tidak menolong kemajuan daerah. Buton Utara memiliki banyak potensi bahan tambang (aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium), hasil hutan (jati, damar, dan rotan), hasil laut serta kawasan perkebunan yang subur namun juga memiliki 33,93% penduduk yang tidak punya pendidikan dan 32,79% yang hanya berpendidikan SD/MI.Penduduk yang sarjana hanyalah 1,67%

Cerita tentang Buton Utara adalah kisah tentang perlawanan masyarakat terhadap keterbelakangan. Diawali oleh kesadaran akan ketertinggalan daerah mereka, kemudian mencari akar permasalahan, akhirnya masyarakat bahu membahu menuntut pemekaran. Berhari-hari, bermingg-minggu bahkan berbulan-bulan mereka berdemonstrasi menuntut pemekaran daerah mereka dari Kabupaten Muna. Mereka melakukan demonstrasi secara marathon, mulai dari Kulisusu, pindah ke Muna dan kemudian di lanjutkan di Ibuko Propinsi, Kendari. Bahkan konon mereka siap-siap akan ke Jakarta jika tuntutan pemekaran belum terealisasikan setelah berdemo di Kendari. Untunglah pihak Jakarta cepat merespon dengan melakukan pemekaran sebelum mereka merealisasikan rencana ke Jakarta. Semua usaha itu dilakukan dengan inisiatif dan anggaran swadaya masyarakat sendiri (termasuk dari para warga Buton Utara yang hidup di luar daerah) karena adanya keengganan pemerintah meluluskan keinginan itu.

Untuk mencapai Kulisusu dari Kota Baubau kita harus melalui perjalanan darat ke Kambowa, perbatasan Buton Utara dan Kabupaten Buton yang bisa ditempuh sampai dengan lima jam karena rusaknya jalanan. Bahkan di beberapa penggalan jalan, mobil harus berjalan merangkak karena lintasan berlumpur yang kalau tidak hati-hati ban kendaraan bisa terpeleset bahkan terjebak hanya bisa meraung-raung tak bisa bergerak maju atau mundur. Ironis memang. Karena kondisi ini terjadi di daerah yang dikenal sebagai salah satu penghasil aspal alam terbesar di Indonesia.

Sampai di Kambowa, perjalanan dilanjutkan dengan spit menuju Kulisusu selama ± 2 jam. Di Kulisusu, kenyataan akan masih tertinggalnya daerah ini sangat jelas terlihat. Di pusat kota, jalanan banyak yang berlubang, bahkan ada yang tidak beraspal sama sekali. Banyak rumah yang terlihat tua karena dindingnya yang retak-retak dan catnya yang sudah terkelupas. Listrik hanya bisa dinikmati mulai pukul 18.00 – 06.00. Itupun setiap dua hari sekali hanya bisa dinikmati mulai pukul 23.00. Pasar yang tersedia hanya satu. Itupun buka hanya sampai pukul 11.00. Untuk berkomunikasi, jangan berharap pada telepon genggam yang anda bawa karena di daerah ini tidak ada operator yang beroperasi. Alat komunikasi yang tersedia hanyalah wartel satelit itupun dalam jumlah yang masih bisa dihitung dengan jari. Jadi selama berada di Kulisusu, dunia kita adalah orang-orang di sekeliling kita. Lupakan sejenak teman-teman dan keluarga yang berada jauh.

Kemarin setelah mekar, harapan akan kemajuan itu terbit seiring dengan adanya pejabat bupati yang memiliki darah pribumi yang memungkinkan masyarakt Buton Utara untuk menata sendiri daerah mereka. Namun harapan itu pupus seiring dengan banyaknya indikasi penyimpangan dari pejabat bupati tersebut. Akhirnya mereka kembali berdemo, menuntut digantinya pejabat bupati. Dan saat kami tiba, pejabat bupati yang baru telah menjabat dan akan mengadakan ramah tamah dengan semua warga Kulisusu bertempat di rumah salah seorang saudaranya sebab rumah jabatan bupati sedang direnovasi. Untuk kesekian kalinya, Warga Buton Utara menata mimpi-mimpi baru.


Sumber :
http://musafirtimur.wordpress.com/2009/02/03/jalan-jalan-ke-buton-utara/
3 Februari 2009

Keraton Sultan Buton


Jika masyarakat Jawa Tengah bangga akan Borobudur, sebuah candi peninggalan kerajaan Budha yang tersohor di seluruh penjuru dunia, warga Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengagungkan Benteng dan Masjid Agung Keraton yang bernilai religius tinggi. Benteng yang mengelilingi pusat pemerintahan Kesultanan Buton dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III, La Sangaji (Sultan Kaimuddin).

Banyak cerita yang mengalir seputar keberadaan benteng tersebut. Menurut La Ode Abu Bakar, tokoh adat masyarakat Buton, benteng tersebut awalnya hanyalah tumpukan batu yang mengelilingi pusat kerajaan. Selain berfungsi sebagai pembatas pusat lingkungan keraton, tumpukan batu tersebut berfungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Pada masa pemerintahan sultan Buton IV, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin), tumpukan batu tersebut dibangun menjadi sebuah benteng. Cerita unik seputar pendirian benteng yang beredar di tengah masyarakat mirip dengan kisah pendirian Candi Borobudur. Konon, tumpukan batu tersebut direkatkan dengan menggunakan putih telur. “Kalau semata-mata hanya menggunakan putih telur tentu akan menggunakan sekian banyak telur. Secara jujur, tentu itu bukan hanya menggunakan putih telur, tapi juga kapur yang diolah menjadi adonan dengan campuran agar-agar dan putih telur,” kata Abu Bakar ketika ditemui di rumahnya, Kota Bau-Bau.

Menurutnya, benteng tersebut dikerjakan oleh seluruh penduduk kesultanan Buton, laki-laki dan perempuan. Para laki-laki mengumpulkan batu-batuan gunung dan menyusunnya. Sementara pasir dikumpulkan oleh kaum perempuannya.

Benteng yang berukuran keliling 2.740 meter dengan tinggi 2-3 meter dan ketebalan dinding 1,5 meter hingga 2 meter ini memiliki 12 pintu (lawa) dengan tambahan na (nya) yang diberi nama sesuai dengan nama atau gelar pengawas pintu-pintu tersebut, antara lain Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Wabarobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Bajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu, yang berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung di sekitarnya.

Pintu-pintu tersebut menurut La Ode Mursali (48), budayawan Buton, diidentikkan dengan jumlah lubang dalam tubuh manusia yang juga terdiri dari 12 lubang. Kedua belas lubang pada tubuh manusia tersebut adalah lubang pori-pori kulit, mulut, dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang anus, satu lubang saluran kencing, satu lubang saluran sperma, dan satu lubang pusat.

Lubang saluran sperma diidentikkan dengan pintu rahasia benteng yang menjadi jalan keluar bagi petinggi-petinggi Kesultanan atau tempat persembunyian, jika ada serangan musuh yang mengancam dan membahayakan keselamatan keluarga Istana Keraton. Lawana Kampebuni (pintu tersembunyi) itu pula digunakan oleh Aru Palaka ketika hendak bersembunyi di sebuah gua di sekitar benteng dari kejaran raja Gowa.

”Dalam tatanan masyarakat suku bangsa Buton, segala sesuatu yang dibuat atau dibangun, selalu dikaitkan dengan tubuh manusia. Makanya, semua bangunan yang ada di dalam keraton, sarat dengan nuansa Islam. Karena memang, para sultan yang berkuasa menganut paham Islam,” tutur Mursali.

Sebagai sebuah benteng perlindungan, benteng Keraton Buton dilengkapi dengan puluhan meriam yang terdapat pada setiap pintu. “Meriam-meriam yang ada di sisi kiri-kanan pintu masuk itu merupakan bukti kuat bahwa Kesultanan Buton pernah melawan penjajah Belanda,” kata Mursali.

Keterangan serupa juga diungkapkan oleh pemerhati budaya Buton, Lutfi Hasmar. Menurut laki-laki yang bekerja sebagai juru bicara Pemda Kabupaten Buton ini, di wilayah Kesultanan Buton terdapat 72 benteng yang tersebar di sejumlah kadie (wilayah setingkat kecamatan). Di Buton sendiri terdapat tiga buah benteng, yaitu benteng Keraton Buton yang berbentuk huruf dal, benteng Baadia yang berbentuk huruf alif, dan benteng Sorawolio yang menyerupai huruf mim. “Kombinasi karakter huruf yang membentuk ketiga benteng tersebut diasosiasikan masyarakat Buton dengan nama Nabi Adam, nabi yang mengawali kehidupan di muka bumi ini, tutur Lutfi.


Masjid dan Makam

Jika memasuki lingkungan benteng tersebut, kita seolah berada di masa lampau. Rumah-rumah yang terdapat di dalamnya dipertahankan berbentuk rumah asli Buton, rumah panggung yang sebagian besar bahan bangunannya adalah kayu. Orang-orang yang tinggal di dalamnya pun masih berhubungan dekat dengan para petinggi kesultanan.

Selain benteng itu sendiri, terdapat beberapa bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi, Masjid Agung Keraton dan Makam Murhum.

Masjid Agung Keraton dibangun pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin Darul Alam (La Ngkariyri, Sultan Buton XIX). Masjid yang berukuran 20,6 x 19,40 m merupakan bangunan pusat kegiatan lembaga kesultanan di bidang keagamaan. Para perangkatnya berstatus sebagai aparat kesultanan.

Menurut Abu Bakar, bahan yang digunakan untuk membangun masjid itu sama dengan bahan untuk benteng keraton. Bangunan yang teridi dari dua lantai ini pun memiliki 12 pintu seperti pada benteng keraton. Sementara itu, kayu yang digunakan untuk membangun masjid tersebut berjumlah 313 potong yang diidentikkan dengan jumlah tulang pada tubuh manusia.

Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat umat Islam dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna (99 sifat Allah), dan diameter 50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali.
Di samping masjid, terdapat tiang bendera yang didirikan tidak lama setelah masjid dibangun. Menurut Abu Bakar, kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam (sekarang Thailand).

“Perahu dagang selalu membawa kayu untuk persiapan mengganti bagian perahu yang rusak di perjalanan,” katanya. Setelah dagangan mereka habis dan hendak kembali ke Pattani, sultan meminta agar kayu tersebut ditinggalkan untuk dijadikan tiang bendera. Dahulu, setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiang tersebut. Selain masjid, terdapat pula makam raja terakhir sekaligus Sultan I Buton, Murhum yang juga dikenal dengan Sultan Kaimuddin dan Halu Oleo (dalam bahasa Muna berarti delapan hari). Nama Halu Oleo diberikan karena Murhum mampu menyelesaikan perang saudara antara Konawe dengan Mekongga dalam waktu delapan hari.

Murhum adalah raja Buton pertama yang menganut ajaran Islam. Sejak itu pula, sistem pemerintahan berubah menjadi kesultanan yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Makam Murhum terletak di belakang Baruga Keraton Buton (balai pertemuan) yang berada di hadapan Masjid Agung Keraton.

Sumber:
SINAR HARAPAN, dalam :
http://sultra.bps.go.id/index.php?Itemid=30&id=36&option=com_content&task=view
5 Desember 2007

Wisata Kabupaten Buton


Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi)

Tukang Besi adalah gugusan kepulauan yang memiliki 4 pulau besar dengan luas kira-kira 821 Km2. Nama pulau tsb. adalah Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko atau masyarakat menyebutnya WAKATOBI. Tukang Besi dalam Bahasa Indonesia berarti pandai besi yang artinya di kepulauan ini terkenal dengan pembuatan keris tradisional yang indah dan diproduksi sampai sekarang.

Gugusan pulau ini memiliki alam yang masih asli, tenang dengan air laut yang segar, gua-gua bawah laut yang saling berdekatan satu sama lain yang disuguhkan khusus untuk pecinta alam sejati. Kawasan ini adalah kawasan wisata tama laut yang pertama di Indonesia yang mengajak penyelam-penyelamnya untuk mendapatkan sebuah perjalanan yang nyaman dan menakjubkan.

Menyelam bisa dilakukan setiap saat, tetapi bulan April dan Desember adalah bulan yang palin baik untuk melakukan penyelaman karena cuaca yang baik, disamping menyelam dan snorkling di pantai juga disediakan khusus motor selam, tour snorkling dan penjelajahan di kepulauan ini ditawarkan bila ada permintaan.

Ada sebuah kawasan kecil yang berlokasi disamping pulau Tomia yang luasnya 8 Km2, yaitu pulau Tolandona (pulau Onernobaa) dengan taman laut disekelilingnya yang indah pula. Kawasan selain Wakatobi didukung dengan keadaan sumber daya masyarakat setempat yang ramah dan selalu menyambut tamunya dengantangan terbuka. Untuk menuju kawasan Wakatobi tsb. kita dapat menggunakan kapal cepat selama kurang lebih 4 jam dari Kendari ke Bau Bau dan kemudian dilanjutkan dengan kapal laut kurang lebih 5-6 jam (tergantung keadaan cuaca dan kondisi kapal).


Benteng / Kompleks Keraton Buton

Benteng Keraton terletak sekitar 3 Km dari pusat kota Bau Bau. Benteng ini dibangun pada abad ke XVI oleh masyarakat Buton, terbuat dari batu gunung yang disusun rapi dengan kapur sebagai bahan perekat. Di zaman kerajaan Buton, benteng ini berfungsi sebagai basis pertahanan dari serangan bajak laut dan penjajah Belanda. Benteng ini mempunyai 12 pintu masuk dan keluar yang masing-masing mempunyai nama. Di dalam benteng ini terdapat peninggalan obyek wisata sejarah sebagai berikut :

Masjid Agung Keraton yang dibangun sekitar abad XVI M yang arsiteknya menggambarkan persatuan dan kesatuan masyarakat yang berintikan ajaran Islam.

Tiang bendera yang dibuat/didirikan pada abad XVI M. Tiang ini terbuat dari kayu yang tingginya ± 50 meter.

Rumah bekas Sultan Buton yang sekarang dipergunakan sebagai Museum (Istana Wolo).
Meriam buatan abad XVII sebanyak 52 buah.


Pantai Nirwana

Terletak ± 12 Km dari Bau Bau. Dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor. Pantai Nirwana mempunyai pasir putih dan laut yang jernih sehingga bila terkena sinar matahari memantulkan warna hijau kebiru-biruan yang menambah keindahan pantai tsb. Dipantai ini kita dapat menyaksikan matahari terbenam atau sun-set yang menyebabkan tempat ini banyak dikunjungi oleh orang untuk dinikmati dan sangat cocok untuk olah raga air.


Sumber :
http://sultra.tripod.com/wisata_kabupaten_buton.htm

Sumber Gambar:
http://puyisyalala.files.wordpress.com/2009/02/wakatobi-2.jpg

Ramai-ramai Hancurkan Bombana


Puluhan ribu pendulang datang dari berbagai penjuru Indonesia, menggali tanah dengan kandungan emas di Bombana. Sayangnya, hasil dari tambang emas tersebut tidak dirasakan oleh masyakarat. Hanya dalam sekejap, Kabupaten ini menghasilkan: Konflik horizontal, korupsi, kerusakan lingkungan dan inflasi yang menyebabkan penderitaan dipikul oleh warga. Inilah harga dari tambang-tambang emas yang di Bombana. Hanya untuk memuaskan keinginan pasar dunia, segalanya menjadi rusak. Siapa yang akan memulihkan, mengambil tanggungjawab untuk memperbaiki kerusakan bentang alam ini?

PHOTOGRAPHER : Abdul Saban
DATE CREATED : 6 Nov 2009 13:38
DATE RELEASED : 6 Nov 2009 13:38
LOCATION : Bombana, Sulawesi Tenggara, Indonesia

Sumber :
http://citizenimages.kompas.com/citizen/2009/11/06/ramai-ramai-hancurkan-bombana-40222

Moratorium Tambang Emas Bombana Demi Perbaikan Yang Lebih Baik

Saat ini terdapat 12 Kuasa Pertambangan (KP) yang siap mengekstraksi kandungan emas di Bombana. Empat perusahaan diantaranya adalah PT. Panca Logam makmur, PT. Tiram Indonesia, PT. Sumber Alam Mega Karya, PT. Talenta, yang pelaporannya telah berjalan sejak Oktober 2008.

Sejak tahun 2003 lalu, Bombana resmi menjadi sebuah kabupaten, pemekaran dari Kabupten induknya, Buton. Memiliki wilayah daratan seluas 284.536 hektar dengan perairan laut seluas 11.837,31 kilometer persegi. Secara geografis, terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan diantara 4 20 – 5 20 Lintang Selatan (sepanjang 180 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara 121 30 – 122 20 BT (sepanjang 154 km) provinsi Sulawesi Tengara (Sultra).

Emas Bombana ditemukan pada pertengahan bulan Mei 2008 lalu, dan mendorong maraknya penambang di daerah tersebut. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana, mencatat sebanyak 81 ribu orang terdaftar sebagai pendulang emas di hamparan lahan seluas 500 hektar. Mereka bekerja pada kedalaman antara 150 meter sampai 200 meter. Itu belum terhitung pendulang liar lainnya. Dinas ini memprediksi sekitar 165 ribu ton deposit emas di Bombana.

Dalam kajian yang dilakukan Pemerintah Daerah, deposit emas di Bombana akan dikelola dengan dua cara. Pertama : Memberdayakan warga lokal melalui pertambangan rakyat. Dimana kandungan emas yang berada di dalam sungai dan sepanjang sungai Tahi Ite (20 kilometer), akan dibagi dalam 20 zona pendulangan, setiap zona berukuran 50 meter persegi. Kedua: untuk mengeksplorasi kandungan emas yang berada di perbukitan, pemerintah akan mengundang investor atau kuasa pertambangan. Potensi ini berada si sekitar desa Raurau. Untuk mengatur regulasi antar perusahaan tambang, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan peraturan Bupati tentang zona maupun kontribusi perusahaan terhadap daerah.

Saat ini terdapat 12 Kuasa Pertambangan (KP) yang siap mengekstraksi kandungan emas di Bombana. Empat perusahaan diantaranya adalah PT. Panca Logam makmur, PT. Tiram Indonesia, PT. Sumber Alam Mega Karya, PT. Talenta, yang pelaporannya telah berjalan sejak Oktober 2008.

Tapi sejumlah penggiat lingkungan, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan lokasi pertambangan Bombana telah mengalami kerusakan parah akibat pendulangan emas tahun 2008. Timbunan material di bantaran sungai Tahi Ite sudah menggunung, membentuk bukit bebatuan. Pertambangan yang telah berlangsung menghilangkan fungsi-fungsi perlindungan alami ekologi dan menyebabkan terjadinya perubahan besar tak hanya dari segi fisik lingkungan tapi juga kehilangan keanekaragaman sumber genetik dan vegetasi lahan. Perubahan rona lingkungan (geobiofisik dan kimia) itu juga menimbulkan pencemaran badan perairan, tanah dan udara.

Sejumlah kasus telah terjadi di Indonesia akibat penambangan yang dilakukan tanpa kajian mendalam dan upaya-upaya untuk merestorasi kembali lingkungan pasca tambang. Pertambangan di Teluk Buyat Minahasa-Sulawesi Utara, pencemaran sungai Ajakwa di Asmat Papua atau kehilangan mata pencaharian sebagian besar nelayan di desa Tambea, Kecamatan Pomalaa-Kolaka, semua ini adalah dampak dari pengelolaan tambang.

Di Bombana, dalam kurun waktu enam bulan sejak praktek pendulangan emas berlangsung, pemerintah daerah sudah dirugikan sekitar 1,8 trilyun rupiah (Kendari Pos, Selasa, 5/5/09). Selain itu, pengelolaan tambang emas di Bombana yang tidak dikelola dengan rapi, mengkontribusikan inflasi dan menyebabkan tingginya pasokan uang kartal yang tidak dimanfaatkan di daerah Sulawesi Tenggara namun justru di luar daerah ini.

Atas berbagai alasan tersebut, Pemerintah diharapkan mengambil inisiatif pengelolaan sumberdaya alam yang lebih arif, memikirkan generasi hari ini dan generasi mendatang. Bila perlu, sambil menunggu adanya kajian yang lebih baik, deposit tambang emas di Bombana lebih baik di moratorium dulu demi perbaikan yang lebih baik.

Informasi lebih lanjut, hubungi:
Sahrul, anantamagelo@telkom.net
LSM Sagori, Jl. Banteng, No. 01, Kelurahan Lauru-Bombana

Sumber :
http://m3sultra.wordpress.com, dalam :
http://www.jatam.org/content/view/828/63/
22 Juni 2009 

Potensi Sulawesi Tenggara


Sulawesi Tenggara pada zaman penjajahan hingga terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara tahun 1952 adalah suatu Afdeling, yaitu Afdeling Boeton Laiwoi dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau. Afdeling Boeton Laiwui tersebut terdiri dari : Onder – Afdeling Boeton; Onder – Afdeling Muna; Onder – Afdeling Laiwui.

Onder – Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Afdeling Luwu (Sulawesi Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara menjadi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya Bau-Bau.

Kabupaten Sulawesi Tenggara itu meliputi wilayah bekas Onder – Afdeling Boeton Laiwui serta bekas Onder Afdeling Kolaka dan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan Pusat Pemerintahannya di Makassar (Ujung Pandang). Selanjutnya dengan UU No. 29 Tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu : Kabupaten Daerah Tingkat II Buton ibukotanya Bau-Bau; Kabupaten Daerah Tingkat II Muna ibukotanya Raha; Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari ibukotanya Kendari; Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka ibukotanya Kolaka.

Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup luas, mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian lain. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar, dan berbagai hasil hutan lain.

Perekonomian daerah Sultra kental diwarnai tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-jasa. Diantara semua sektor, peranan sektor pertanian terlihat amat besar, mencapai 37,27 persen.

Untuk sektor pertanian, daerah ini menghasilkan bahan pangan, tanaman sayur-sayuran, buah-buahan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Produksi bahan pangan yang signifikan adalah padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Padi banyak dihasilkan di Kabupaten Muna, Konawe, Wakatobi, Buton, dan Bau-Bau. Produksi jagung terkonsentrasi di Kabupaten Muna. Sedangkan ubi kayu dan ubi jalar banyak dihasilkan dari Kabupaten Buton dan Muna.

Jenis Tanaman Pangan yang paling dominan di Kabupaten Konawe Utara adalah padi/beras. Mengenai potensi beras dapat dilihat sebagai berikut : Luas lahan potensial yang dapat diolah adalah 46.982 Ha, lahan yang dapat dijadikan lahan iringasi teknis adalah 46,982 Ha dan baru dimanfaatkan sebesar 865 Ha. Jadi masih terdapat 46.117 Ha yang belum dimanfaatkan. Produksi yang dihasilkan adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau dan lain-lain.

Sub-sektor perkebunan, lahan potensial yang dapat diolah 257.241 Ha, efektif dikelola sampai dengan tahun 2004 adalah 3.000 Ha untuk perkebunan besar dan 35.121 Ha untuk perkebunan rakyat. Komoditi yang dikembangkan dan dihasilkan adalah : Kakao, Jambu Mete, Kelapa, Kopi, Cengkeh, Lada, Pala, Vanili dan lain-lain.

Potensi areal untuk pengembangan ternak kurang lebih 125.100 Ha secara umum belum termanfaatkan dengan baik, terutama untuk ternak besar, sebab pada umumnya masyarakat memelihara ternak besar masih menggunakan halaman pekarangan atau perkebunan kelapa dan mete.

Potensi Perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat (Kolam, empang/tambak). Luas perairan laut 578.600 Ha potensi perikanan; hasil Tambak 1.211 Ha; Kolam 12.126 Ha; Perikanan Laut 1.234 Ha; Budi Daya 1.850; Penangkapan 3.936 Ha.

Sedangkan luas kawasan hutan adalah 385.195 Ha dengan produksi hasil hutan berupa; Kayu Jati, Kayu Rimba Campuran, Rotan Damar dan Hasil Hutan Rotan.

Berbagai daerah di Sulawesi Tenggara juga merupakan daerah penghasil sayur-sayuran. Beberapa produk andalannya adalah kacang panjang, tomat, terung, kangkung, dan sawi. Produksi kacang panjang banyak dihasilkan dari Kabupaten Kolaka, Muna, dan Konawe. Tomat banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Terung banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Sedangkan kangkung banyak dihasilkan Kabupaten Konawe dan Kolaka. Sementara itu, sawi banyak dihasilkan Konawe Selatan dan Kolaka.

Berbagai jenis buah-buahan diproduksi daerah-daerah di Sulawesi Tenggara. Buah-buahan ini ada yang bersifat sebagai komoditi yang diperdagangkan keluar daerah, tapi ada juga jenis buah-buahan yang lebih bersifat subsisten. Contoh buah diproduksi dalam jumlah besar mangga, jeruk, pisang, durian, dan nangka.

Di Sulawesi Tenggara terdapat usaha perkebunan meskipun dalam skala tidak besar. Diantara jenis perkebunan itu antara lain coklat, jambu mete, kelapa dalam, kopi, lada, sagu, cengkeh, enau, kemiri, dan kelapa hibrida.

Letak daerahnya yang memiliki garis panti menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut dan layak dikembangkan sebagai klaster perikanan laut. Beberapa daerah yang cocok dijadikan klaster perikanan laut adalah Buton, Muna, Wakatobe, dan Konawe. Selain perikanan laut, Sulawesi Tenggara juga menghasilkan ikan tambak dan ikan darat. Produksi ikan tambak terkonsentrasi di Kabupaten Kendari. Sedangkan produksi perikanan darat terkonsentrasi di Kabupaten Konawe Selatan.

Sulawesi Tenggara juga menghasilkan produk peternakan. Jenis ternak yang dikembangkan terdiri dari ternak besar yaitu Sapi, Kerbau, Kuda, ternak kecil yaitu Kambing, Domba, Babi dan jenis unggas yaitu Ayam kampung, Ayam ras dan Itik manila. Secara umum populasi ternak besar tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 2,33 persen. Dibandingkan tahun 2004 sekitar 5.166 ekor. Populasi ternak kecil mengalami kenaikan 2,44 persen dari 208.740 ekor tahun 2004 menjadi 213.840 ekor tahun 2005.

Dari populasi Sapi sebanyak 213.840 Kg yang dipotong hanya sebanyak 20.931 ekor Sapi (9,79 %) dengan produksi daging 4.151.941 Kg.

Jenis ternak yang dikembangkan terdiri dari ternak besar yaitu Sapi, Kerbau Kuda, ternak kecil yaitu Kambing, domba, Babi dan jenis unggas yaitu Ayam kampung, Ayam ras dan Itik/itik manila.

Klaster peternakan Sapi cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan. Peternakan Kambing cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe dan Kolaka. Peternakan Babi cocok dikembangkan di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Kolaka. Sedangkan peternakan Ayam ras cocok dikembangkan di Kabupaten Kolaka dan Kendari. Sementara ternak Ayam buras cocok dikembangkan di Kabupaten Muna dan Konawe Selatan.

Distribusi populasi ternak sapi menurut Kab./Kota adalah 29,48 % terdapat di Kabupaten Konawe Selatan, 25,64 persen; Kabupaten Konawe, 15,93 persen; Kabupaten Kolaka, 14,71 persen Kabupaten Muna, 10,21 persen, Kabupaten Bombana 4,03 persen, dan sisanya tersebar di Buton, Kolaka Utara, Wakatobi, Kota Bau-Bau dan Kota Kendari.

Populasi ternak Kerbau tahun 2005 tersebar di Kabupaten/Kota sebanyak 5.150 ekor terdapat di Kolaka, 1.078 ekor; Bombana, 584 ekor; Konawe, 520 ekor; Kolaka Utara, 393 ekor; Konawe Selatan 167 ekor ; Muna, 3 ekor; Buton, 31 ekor.

Dari populasi Sapi sebanyak 213.840 Kg yang dipotong hanya sebanyak 20.931 ekor sapi (9,79 %) dengan produksi daging 4.151.941 Kg.

Populasi ternak Kuda tahun 2005 mencapai 4.666 ekor. Populasi tersebut tersebar di seluruh kabupaten/kota kecuali Kab. Buton dan Wakatobi. Kab. Kolaka dan Bombana merupakan daerah ternak Kuda terbesar yaitu mencapai 43,51 persen dan 33,11 persen dari seluruh populasi yang ada.

Perkembangan populasi ternak kecil di Sultra tahun 2005 tercatat 34.762 ekor dengan rincian kambing 24,170 ekor, produksi daging 302.095 kg, domba 26 ekor, produksi daging 394 kg dan babi 10.566 ekor dengan produksi daging 581.327 kg.

Selanjutnya sektor pariwisata juga merupakan sektor yang berpeluang besar untuk dikembangkan lebih baik di daerah ini. Potensi wisata alam, wisata bahari, agrowisata, dan wisata budaya dapat dikembangkan lebih optimal dengan memanfaatkan kekayaan pemandangan alam di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi alam di Sultra yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit, serta garis pantai yang panjang, dengan pulau-pulau dan tanaman laut yang tersebar di wilayah propinsi ini, semuanya itu sangat berpotensi mendatangkan devisa negara. Ditambah latar belakang sejarah dan keanekaragaman seni budaya serta tradisi setempat yang unik dan menarik, semua akan menarik wisatawan, domestik maupun mancanegara. Persoalannya, diperlukan pembenahan dan pemikiran kreatif untuk mewujudkan harapan itu, terutama pembenahan sarana dan prasarana yang masih dirasakan minim, seperti transportasi, penginapan, penjualan souvenir, restouran dan sebagainya.

Untuk memajukan potensi pariwisata di Sultra, perlu digalang kerjasama dengan biro perjalanan dan jasa layanan lain, yang dapat memudahkan serta memacu perkembangan sektor pariwisata di propinsi ini.

Selain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata, perekonomian Sultra juga diwarnai dengan kegiatan perdagangan. Sebagai sarana penunjang berbagai kegiatan ekonomi tersebut, daerah ini tersedia hotel berbagai jenis. Jumlah hotel terbanyak terdapat di Kendari, kemudian diikuti Bau-Bau, Kolaka, Muna, Konawe, Wakatobi, Kolaka Utara, Buton, Bombana, dan Konawe Selatan.


Sumber :
http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Sulawesi+Tenggara